Di Penjara Rejim Penguasa, Ini Kisah Perjalanan Tokoh Literasi Indonesia

Foto: Buya Hamka bersama istri  Hajah Siti Khadijah

EDUKASI||Legion News – Mengenal sosok Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo, populer dengan nama penanya Buya Hamka, lahir di Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam, Sumatra Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun.

Buya Hamka adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Berkarier sebagai wartawan, penulis, dan pengajar.

Ia (Hamka) terjun dalam dunia politik melalui Masyumi hingga sampai akhirnya partai tersebut dibubarkan, oleh orde baru.

Advertisement

Buya Hamka pernah menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif organisasi Islam tertua Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.

Ringkasan Singkat Kisah Perjalanan Hidup Istri dan Anak Buya Hamka

Putra Buya Hamka, Irfan Hamka mengisahkan perjalan hidupnya bersama Ummi (Ibu) saat Abah (Bapak/Ayahanda) ditahan oleh rejim penguasa saat itu yang mengekang habis Buya Hamka.

Ketika semua harta Buya Hamka disita Rezim, Tahun 1964, pemerintah menahan Hamka selama 2 tahun 4 bulan. Sejak Hamka ditahan semua karya tulis hamka Hamka dilarang beredar, penerbit pun diancam untuk tidak lagi menerbitkan buku-buku beliau.

Padahal penghasilan Hamka untuk menghidupkan keluarganya berasal dari karya tulisnya. Itu dilakukan selepas pengunduran diri sebagai pegawai pemerintahan, Kementerian Agama Republik Indonesia. Dari karya tulisannya banyak penerbit dibuat dalam bentuk buku dan dari hasil penjualan Hamka mendapatkan royalti. Selain penghasilan dari mengisi ceramah, atau seminar.

Masa selama Buya Hamka menjalani hukuman Istri Hamka harus berpikir bagaimana bisa menghidupi anaknya, mengingat kepala rumah tangga tengah menjalani hukuman kurungan penjara.

Untuk biaya kehidupan sehari-hari, Ummi, istri Hamka mulai melelang barang yang dimiliki. Suatu pagi Ummi bersama Irfan, anaknya pergi ke pemilik penerbitan, dengan uang terakhir yang hanya cukup untuk ongkos becak. Ketika bertemu si pemilik penerbitan berkata, “Ummi, buku-buku Buya yang baru dicetak disita orang, Penyitanya ini dikawal polisi. Ini ada uang sedekah dari kami untuk membeli beras.”

Wajah Ummi memerah, “Kami datang tidak untuk mengemis, Berikanlah sedekah ini kepada yang lebih memerlukan. Kami hanya bertanya barangkali ada uang honor Buya yang tersisa? Bila tidak ada, tidak apa-apa. Kami pamit pulang.”

Pulang dengan berjalan kaki, Ummi dan Irfan baru sampai di rumah pukul 10.30 siang.

Ternyata ada tamu yang sudah menunggu, H.M.Zen pemilik PT. Pustaka Islam. Kata beliau, “Saya pernah sampaikan ke Buya, kalau tanah saya laku ada bagian untuk Buya. Saya tunaikan janji saya.” Beliau memberikan amplop yang cukup tebal kepada Ummi.

Baru saja pak H.M. Zen pulang berhenti lagi sebuah mobil di depan rumah. Ternyata Bapak Anwar Sutan Saidi, pemilik PT. Pustaka Nusantara, sebuah penerbitan di Bukittinggi Sumatera Barat

Kata beliau, ”Selama Buya ditahan, semua buku disita PKI. Hanya di Sumatera Barat yang aman bukunya. Saya datang mengirim uang royalti kontan, karena takut jika lewat wesel akan disita pula”

Sepulang Pak Anwar, Ummi menangis, beliau kemudian mengambil air wudhu dan shalat sunnah syukur kepada Allah SWT. Kisah perjalan hidup Buya Hamka ditulis langsung okeh Putra Buya, Bernama Irfan Hamka.

Advertisement