
LEGIONNEWS.COM – Sejak dilantik sebagai kepala daerah yang baru, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, tidak diperbolehkan melakukan penggantian pejabat daerah enam bulan sejak pelantikannya dan harus mendapatkan persetujuan menteri.
Akan hal itu salah satu Aparatur Sipil Negara (ASN) bernama Paber SC Simamora melakukan pemohon mengujikan Pasal 162 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi.
Gugatan itu melalui Perkara Nomor 2/PUU-XXIII/2025, Pasal 162 ayat (3) UU Pilkada menyatakan;
“Gubernur, Bupati, atau Walikota yang akan melakukan penggantian pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pelantikan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri”.
Pemohon menilai ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Pemohon mengatakan bahwa keberadaan Gubernur, Bupati dan Walikota yang bertindak sebagai atasan sekaligus kepala pemerintah pada tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota ini memiliki kewenangan yang sama dengan menteri dan pimpinan lembaga lain sebagaimana diatur dalan Pasal 29 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN.
Sehingga kewajiban memperoleh persetujuan dari Menteri Dalam Negeri bagi kepala daerah untuk melakukan penggantian pejabat di lingkungan pemerintah darerah dinilai tidak sesuai dengan norma Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
- BACA JUGA:
Pergantian Pengurus Masjid Kubah 99 Asmaul Husna, Kadisdik Sulsel: Pengurus ASN dan MUI ini SK nya
“Tidak ada kepastian hukum pada Pasal 162 ayat (3) karena UU Pilkada seharusnya mengatur seluruh tahapan Pemilihan Kepala Daerah yang berakhir pada saat Penyelenggara Pemilu, sehingga tindakan Kepala Daerah yang telah dilantik bukan lagi menjadi kewenangan hukum dari UU Pilkada,“ jelas Paber secara daring dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra pada Rabu (5/3/2025).
Terlebih lagi, keberadaan Bupati sebagai Kepala Pemerintahan di Kabupaten merupakan Pejabat Pembina Kepegawaian sejak diangkat dalam jabatannya berhak untuk melaksanakan tugas Pembina terhadap seluruh Pegawai Negeri Sipil di wilayah pemerintahannya, tanpa harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Dalam Negeri. Kewenangan sebagai Pejabat Pembina tersebut tertuang dalam Pasal 1 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Oleh karenanya, Pemohon menilai ketentuan Pasal 162 ayat (3) UU Pilkada tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Pemohon. Bahkan norma tersebut berpotensi menghilangkan kesempatan memajukan kesejahteraan atas jabatan baru yang diamanahkan karena harus menunggu enam bulan untuk mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
“Berdasarkan segenap argumentasi yang telah diuraikan di atas, maka Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi memutus Permohonan a quo, dengan amar putusan sebagai berikut: Mengabulkan permohonan Pemohon; Menyatakan Pasal 162 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan karena itu tidak memiliki kekuatan hukummengikat. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” ucap Paber membacakan petitum permohonannya.
Elaborasi Landasan Pengujian
Dalam nasihat Hakim Sidang Panel, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menilai Pemohon masih kurang maksimal dalam mengelaborasi landasan pengujian dengan pasal yang diujikan. “Belum tampak kaitan jelas mengenai sebab akibat kerugian konstitusional Pemohon dengan pasal yang diujikan. Dari banyaknya norma yang dikontestasikan ini, perlu dijelaskan satu per satu keterkaitannya,” jelas Hakim Konstitusi Ridwan.
Kemudian Hakim Konstitusi Arsul Sani menyebutkan perlu bagi Pemohon untuk memperkuat kedudukan hukum, maka harus memberikan argumentasi atas status sebagai WNI yang bekerja sebagai ASN serta kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal tersebut terhalang menduduki jabatan baru, namun harus menunggu enam bulan.
“Pemohon dapat memperhatikan Putusan MK Nomor 6/2005 dan Putusan MK Nomor 11/2007, di sana dijelaskan lima syarat kerugian dan kewenangan konstitusional Pemohon dalam mengajukan permohonan ke MK. Kemudian Pemohon harus menjelaskan lebih komprehensif atas diskriminnasi ASN di Provinsi DI. Yogyakarta yang tak berlaku pilkada dengan keberadaan Pemohon yang ada di kabupaten/kota,” saran Arsul.
- BACA JUGA:
Hingga April 2025 Capaian PAD Tak Penuhi Target, Bapenda Deli Serdang Bakal Dievaluasi Bupati
Sementara itu, Wakil Ketua Saldi Isra memberikan catatan tentang kedudukan hukum Pemohon yang harus diperkuat dengan terlebih dahulu memperhatikan latar belakang dipilihnya waktu enam bulan setelah pelantikan kepala daerah dalam penggantian pejabat dalam pemerintah daerah.
“Bahwa aturan enam bulan tersebut guna memastikan para birokrat atau pejabat pemerintah daerah yang (baru) menjabat tidak terganggu oleh agenda-agenda politik, sehingga Pemohon harus memperhatikan hal ini,” terang Wakil Ketua Saldi.
Sebelum menutup persidangan, Wakil Ketua MK Saldi mengatakan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Naskah perbaikan tersebut dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 18 Maret 2025. Untuk kemudian Mahkamah akan menjadwalkan sidang berikut dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan Pemohon. (*)